Peradilan Rakyat
Cerpen “Peradilan Rakyat” merupakan karya Putu Wijaya,
cerpen ini menceritakan sebuah dialog seorang anak dan juga ayahnya. Kedatangan
seorang anak pada ayahnya ini bukan sekedar hubungan Ayah dan anak melainkan
seorang pengacara yang sudah senior kepada pengacara muda atau junior.
Pengacara tua itu mendapat julukan Singa lapar dari sebuah buku yang ditulis
oleh sebuah Universitas diluar negeri.
Kedatangan pengacara muda ini kepada pengacara tua ini untuk
berdialog masalah hukum di Negara yang dirasakan lemah oleh mereka. Pengacara
muda ini sedang menangani suatu kasus dipersidangan, pengacara muda ini
ditugaskan oleh negaranya untuk membela seorang penjahat yang telah merugikan
Negara. Seorang penjahat yang mendapatkan seorang pengacara yang hebat. Penjahat
itu juga meminta pengacara muda itu untuk membelanya. Karena pengacara muda itu
adalah seorang pengacara yang professional maka dia menerimanya dengan membela
penjahat di persidangan, penjahat yang harusnya menjadi musuh Negara dan juga
rakyat.
Pengacara itu membela penjahat itu dipersidangan bukan
karena uang, ancaman dari penjahat itu, bukan karena mengharapkan balas jasa
kelak dari penjahat itu ataupun untuk meraih publikasi krena kehebatannya dalam
membela melainkan karena keprofesionalannya menjadi seorang pengacara.
Pengacara muda itu tidak bisa menolak karena hal itu adalah kewajiban seorang
pengacara untuk membela siapapun diperadilan ketika diminta mejadi seorang
pembela.
Dalam dialog itu sudah tergambarkan kemengan persidangan ada
di pihak pengacara muda dan penjahat Negara itu, karena bukti-bukti yang
diberikan oleh Negara masih sangat sedikit dan lemah, pengadilan itu juga
terkesan tergesa-gesa sehingga pengacara itu bisa menang dengan mudah. Namun
pengacara tua itu berpesan untuk berhati – hati untuk tidak meremehkan
jaksa-jaksa yang diangkat oleh Negara, Negara juga akan menurunkan sebuah tim
untuk menyelesaikan perkara itu. Peradilan saat itu sudah bisa terganbarkan
meskipun sidang belum dimulai karena memang hukum dinegara itu masih lemah.
Pengadilan terhadap penjahat itu telah dimulai. Gambaran
dari pengacara itu benar-benar terjadi, pengadilan itu dimenangkan oleh
pengacara itu, penjahat itupun bebas. Dengan tertawa lepas penjahat itu
menerima kebebasannya dan dengan cepat dia pergi keluar negeri dan sudah sulit
untuk menjamahnya kembali. Mengetahui hal itu rakyat menjadi marah, mereka
turun kejalan. Demonstrasi dimana-mana, gedung pengadilan dibakar, para
hakimnya dikejar, dan pengacara muda itu diculik dan disiksa dan setelah
menjadi mayat baru dikembalikan. Rakyat sangat marah dan hendak menggulingkan
pemerintahan yang sah.
Biografi
Putu Wijaya yang kita
kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah
Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu
memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada
masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih
duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan
beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di
sekolah menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam
kegiatan sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan
kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Di
Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni
lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan
Film dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum UGM, ia meraih
gelar sarjana hukum (1969), dari Akademi Seni Drama dan Film ia gagal dalam
penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya
sebagai seniman. Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu
pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater
Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres.
Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979).
Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).
Kritik Ekspresif
Pada Cerpen “Peradilan Rakyat” Karya Putu Wijaya
Terdapat beberapa
kutipan cerpen dengan menggunakan kritik ekspresif, yaitu:
“Aku ingin berkata tidak kepada
negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi
mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara
terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ
aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan
investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku,
negara sudah memainkan sandiwara.”
Disini
penulis mampu mengekspresikannya dengan baik. Negara sebagai wujud teater,
suatu pertunjukan sandiwara. Hal ini pula dilatarbelakangi oleh profesi penulis
sebagi seorang sastrawan, penulis pula menjabat sebagai Pimpinan Teater
Mandiri, Jakarta sejak tahun 1971 hingga sekarang. Kutipan diatas merupakan
wujud ekspreasi jiwa mengenai kedudukan posisi bangsa dan negara saat ini bisa
berubah.
Terdapat kutipan cerpen
lainnya,yaitu:
Pengacara
muda sekarang menarik napas panjang. “Ya
aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku
tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan
kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang
membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan
sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”
Pada
kutipan cerpen di atas, penulis mampu mengekspresikan diri sebagai seorang pengacara
muda, yang profesional, dan cerdas. Hal tersebut pula didasari, bahwa penulis
juga merupakan seorang mahasiswa fakultas hukum, penulis sendiri merupakan
mahasiswa dari Fakultas Hukum UGM pada tahun 1969.
Pada kutipan cerpen
yang ketiga, yang terdapat di bawah ini:
“Dengan gemilang dan mudah ia
mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu.
Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta
kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah
lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke
jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan
diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa
dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup.
Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.”
Jika
dikaitkan dengan kutipan cerpen di atas penulis mampu mengkritisi pemerintahan,
dan memaparkan pandangannya pada pemerintahan tersebut. Bentuk dari ekpresi
terhadap situasi dan keadaan yang terjadi dimasyarakat, hal ini pula didasari
oleh profesi yang pernah penulis seperti menjadi wartawan di berbagai media
cetak dan juga penulis pernah menjadi wartawan majalah Ekspres, wartawan
majalah Tempo dan Redaktur Pelaksana majalah Zaman.
Demikian
mengenai beberapa kutipan cerpen dengan menggunakan kritik ekspresif terhadap
cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijya.
*Tugas Kuliah Menulis
Kritik & Essai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar