Minggu, 28 Mei 2017

Kritik Ekspresif Cerpen "Peradilan Rakyat"



Peradilan Rakyat

Cerpen “Peradilan Rakyat” merupakan karya Putu Wijaya, cerpen ini menceritakan sebuah dialog seorang anak dan juga ayahnya. Kedatangan seorang anak pada ayahnya ini bukan sekedar hubungan Ayah dan anak melainkan seorang pengacara yang sudah senior kepada pengacara muda atau junior. Pengacara tua itu mendapat julukan Singa lapar dari sebuah buku yang ditulis oleh sebuah Universitas diluar negeri.
Kedatangan pengacara muda ini kepada pengacara tua ini untuk berdialog masalah hukum di Negara yang dirasakan lemah oleh mereka. Pengacara muda ini sedang menangani suatu kasus dipersidangan, pengacara muda ini ditugaskan oleh negaranya untuk membela seorang penjahat yang telah merugikan Negara. Seorang penjahat yang mendapatkan seorang pengacara yang hebat. Penjahat itu juga meminta pengacara muda itu untuk membelanya. Karena pengacara muda itu adalah seorang pengacara yang professional maka dia menerimanya dengan membela penjahat di persidangan, penjahat yang harusnya menjadi musuh Negara dan juga rakyat.
Pengacara itu membela penjahat itu dipersidangan bukan karena uang, ancaman dari penjahat itu, bukan karena mengharapkan balas jasa kelak dari penjahat itu ataupun untuk meraih publikasi krena kehebatannya dalam membela melainkan karena keprofesionalannya menjadi seorang pengacara. Pengacara muda itu tidak bisa menolak karena hal itu adalah kewajiban seorang pengacara untuk membela siapapun diperadilan ketika diminta mejadi seorang pembela.
Dalam dialog itu sudah tergambarkan kemengan persidangan ada di pihak pengacara muda dan penjahat Negara itu, karena bukti-bukti yang diberikan oleh Negara masih sangat sedikit dan lemah, pengadilan itu juga terkesan tergesa-gesa sehingga pengacara itu bisa menang dengan mudah. Namun pengacara tua itu berpesan untuk berhati – hati untuk tidak meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh Negara, Negara juga akan menurunkan sebuah tim untuk menyelesaikan perkara itu. Peradilan saat itu sudah bisa terganbarkan meskipun sidang belum dimulai karena memang hukum dinegara itu masih lemah.
Pengadilan terhadap penjahat itu telah dimulai. Gambaran dari pengacara itu benar-benar terjadi, pengadilan itu dimenangkan oleh pengacara itu, penjahat itupun bebas. Dengan tertawa lepas penjahat itu menerima kebebasannya dan dengan cepat dia pergi keluar negeri dan sudah sulit untuk menjamahnya kembali. Mengetahui hal itu rakyat menjadi marah, mereka turun kejalan. Demonstrasi dimana-mana, gedung pengadilan dibakar, para hakimnya dikejar, dan pengacara muda itu diculik dan disiksa dan setelah menjadi mayat baru dikembalikan. Rakyat sangat marah dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.


Biografi
Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.

Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Akademi Seni Drama dan Film ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman. Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).



Kritik Ekspresif Pada Cerpen “Peradilan Rakyat” Karya Putu Wijaya
Terdapat beberapa kutipan cerpen dengan menggunakan kritik ekspresif, yaitu:
“Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara.”
Disini penulis mampu mengekspresikannya dengan baik. Negara sebagai wujud teater, suatu pertunjukan sandiwara. Hal ini pula dilatarbelakangi oleh profesi penulis sebagi seorang sastrawan, penulis pula menjabat sebagai Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta sejak tahun 1971 hingga sekarang. Kutipan diatas merupakan wujud ekspreasi jiwa mengenai kedudukan posisi bangsa dan negara saat ini bisa berubah.

Terdapat kutipan cerpen lainnya,yaitu:
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang. “Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”
Pada kutipan cerpen di atas, penulis mampu mengekspresikan diri sebagai seorang pengacara muda, yang profesional, dan cerdas. Hal tersebut pula didasari, bahwa penulis juga merupakan seorang mahasiswa fakultas hukum, penulis sendiri merupakan mahasiswa dari Fakultas Hukum UGM pada tahun 1969.

Pada kutipan cerpen yang ketiga, yang terdapat di bawah ini:
“Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.”
Jika dikaitkan dengan kutipan cerpen di atas penulis mampu mengkritisi pemerintahan, dan memaparkan pandangannya pada pemerintahan tersebut. Bentuk dari ekpresi terhadap situasi dan keadaan yang terjadi dimasyarakat, hal ini pula didasari oleh profesi yang pernah penulis seperti menjadi wartawan di berbagai media cetak dan juga penulis pernah menjadi wartawan majalah Ekspres, wartawan majalah Tempo dan Redaktur Pelaksana majalah Zaman.
                Demikian mengenai beberapa kutipan cerpen dengan menggunakan kritik ekspresif terhadap cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijya.


*Tugas Kuliah Menulis Kritik & Essai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas UAS Menulis Kritik (Menggunakan Kritik Objektif)

S urat Kecil Untuk Tuhan SINOPSIS Novel Surat Kecil Untuk Tuhan ini   menceritakan gadis yang bernama Keke yang terkena penyak...